Credits: detikcom
Sebagai konsumen, kita sering terikat pada rasa dan kenangan dari sebuah tempat makan legendaris. Tapi dalam era keterbukaan informasi, cita rasa saja tidak cukup. Transparansi menjadi bagian dari pengalaman yang juga menentukan kepercayaan. Itulah yang kini sedang dihadapi oleh Ayam Goreng Widuran, rumah makan yang sudah berdiri lebih dari 50 tahun di Solo.
Dilansir dari Kompas.com, Ayam Goreng Widuran Solo menjadi sorotan publik setelah mengumumkan bahwa beberapa menunya mengandung bahan nonhalal. Informasi ini disampaikan melalui klarifikasi di media sosial, menyusul kekecewaan pelanggan yang merasa tidak diberi informasi sejak awal. Nanang, karyawan yang telah bekerja selama satu dekade di restoran tersebut, menyatakan bahwa pihaknya tidak bisa memberikan alasan pasti soal keterlambatan penjelasan itu. Ia menambahkan bahwa label nonhalal baru dipasang dalam beberapa hari terakhir, setelah isu ini ramai di media sosial.
Restoran yang dikenal dengan ayam goreng kremes ini disebut memiliki banyak pelanggan setia, bahkan dari luar kota seperti Jakarta dan Surabaya. Menurut Nanang, mayoritas pelanggan mereka memang nonmuslim. Meski begitu, pelanggan lama seperti Pita, yang sudah menyantap ayam Widuran sejak SD, menyayangkan lambatnya penyampaian informasi soal bahan nonhalal.
SOP, Alur Komunikasi Interna, dan Mitigasi Resiko
Dari sudut pandang organisasi dan SDM, kasus ini menunjukkan pentingnya peran komunikasi internal dan kejelasan SOP terhadap informasi sensitif yang berdampak langsung ke publik. Seorang karyawan seperti Nanang, yang sudah bekerja 10 tahun, seharusnya mendapat informasi dan arahan yang cukup untuk merespons pertanyaan konsumen, bukan justru bingung dan tidak tahu harus menjawab apa. Ini bukan soal salah siapa, tapi lemahnya sistem alur informasi dan mitigasi risiko di ranah operasional.
Isu ini juga berdampak pada stabilitas kerja dan kelangsungan bisnis. Ketika reputasi bisnis terguncang, bukan hanya pemilik yang terdampak, tetapi juga para pekerja yang menggantungkan hidupnya di sana. Harapan Nanang agar tempat itu bisa buka kembali mencerminkan keresahan karyawan terhadap ketidakpastian yang terjadi karena kesalahan manajerial, bukan karena kesalahan mereka.