Skip to main content

Traveloka Pindah ke Singapura dan Potensi Brain Drain

Credits: detik.net.id

Isu relokasi kantor pusat startup kembali jadi pembicaraan, apalagi kalau menyangkut nama besar seperti Traveloka. Di tengah kebanggaan bahwa Indonesia punya deretan unicorn, kenyataan bahwa kantor pusat mereka terdaftar di luar negeri menimbulkan pertanyaan: seberapa ‘Indonesia’-kah mereka sebenarnya? Tapi ini bukan soal nasionalisme sempit, yang perlu kita bedah adalah implikasinya ke dunia kerja, bisnis, dan masa depan ekosistem digital lokal.


Traveloka, yang lahir di Jakarta pada 2012, kini menyatakan bahwa kantor pusat mereka resmi berada di Singapura. Informasi ini muncul dalam siaran pers terbaru perusahaan, seiring pengumuman ekspansi mereka ke pasar Jepang. Padahal pada 2021, mereka sempat memperkenalkan kantor pusat ‘Traveloka Campus’ di BSD, Tangerang.


Berdasarkan pemberitaan resmi Katadata, Traveloka menegaskan bahwa secara operasional, aktivitas mereka di Indonesia tidak berubah. Saat ini, sekitar 2.000 karyawan masih bekerja dari kantor BSD, dan perekrutan talenta lokal masih terus berlangsung. Mereka mengklaim tetap berkomitmen mendukung pariwisata Indonesia melalui kemitraan dengan berbagai pelaku usaha di sektor perjalanan.


Potensi 'Brain Drain'


Dari kacamata HR, kepindahan kantor pusat ke luar negeri bukan hal baru, terutama di ranah startup teknologi yang sejak awal terstruktur secara regional atau global. Tapi kita juga perlu paham bahwa ini bisa jadi indikator terkait ekosistem digital lokal kita. Apakah ini memang karena keputusan strategis untuk akses investor dan pasar, atau karena adanya 'ketidaknyamanan' beroperasi dalam sistem regulasi dan iklim usaha di Indonesia? 


Walaupun ribuan pekerja lokal tetap digaji dan operasional tetap jalan, dampak langsung ke tenaga kerja bisa jadi akan lebih minim. Jika perusahaan besar mulai membangun basis-legal di luar negeri, risiko jangka panjangnya adalah "brain drain", yang mana artinya adalah hilangnya peluang bagi SDM atau talenta lokal naik ke posisi strategis (karena semua terpusat di luar negeri termasuk secara organisasi akan lebih possible untuk dominan melibatkan SDM dari luar), serta ketimpangan ekosistem yang lebih menyuburkan kapital asing dibanding kemandirian industri digital lokal kita.