Credits: AI generated
Dalam dinamika ketenagakerjaan, isu penahanan ijazah oleh perusahaan kerap menjadi bahan perdebatan. Di satu sisi, perusahaan berdalih sebagai bentuk jaminan, di sisi lain, pekerja merasa haknya dilanggar. Baru-baru ini, Kementerian Ketenagakerjaan memberikan penjelasan yang lebih gamblang soal praktik ini.
Mengutip laporan dari Katadata, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan bahwa penahanan ijazah atau sertifikat milik pekerja oleh perusahaan tidak diperbolehkan secara umum. Namun, ada dua kondisi yang membuat praktik ini dibenarkan secara hukum. Pertama, apabila terdapat kesepakatan antara pekerja dan perusahaan yang tertuang secara tertulis. Kedua, bila penahanan tersebut dilakukan untuk mencegah kerugian perusahaan dan dilakukan atas permintaan pekerja sendiri.
“Sepanjang ini dilakukan atas dasar kesepakatan bersama dan secara tertulis, maka penahanan ijazah atau sertifikat pekerja dimungkinkan,” ujar Menaker Ida dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR, Senin (13/5).
Menaker juga menegaskan bahwa perusahaan yang menahan dokumen pribadi pekerja tanpa dasar kesepakatan dapat dikenai sanksi hukum. Hal ini mengacu pada Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjamin hak setiap tenaga kerja untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan adil tanpa diskriminasi.
Bukan Sekedar Administratif, tapi Transparansi
Isu penahanan ijazah ini menyingkap lebih dari sekadar urusan administratif. Ini berbicara tentang relasi kuasa dalam hubungan kerja. Jika perusahaan membutuhkan jaminan loyalitas, maka solusinya bukan menahan dokumen pribadi, tapi idealnya membangun komunikasi internal dan struktur yang adil dan transparan, baik melalui kontrak, program retensi, atau sistem insentif.
Di sisi lain, perlu diakui bahwa ada situasi tertentu, seperti program pelatihan mahal atau penempatan ke luar negeri, yang secara realistis menuntut komitmen balik dari pekerja karena instansi bersedia membiayai. Di titik ini, legalitas praktik itu bukan soal boleh atau tidak, tapi tentang kejelasan dan kesepakatan. Artinya, harus kedua belah pihak saling sepakat di awal.
Untuk para pelaku usaha maupun profesional HR, isu ini penting untuk ditelaah bukan hanya dari sisi hukum, tapi juga etika kerja dan manajemen risiko. Apakah perusahaanmu sudah punya mekanisme yang adil dalam menjaga komitmen pekerja tanpa harus menyandera dokumen?
Bagi pekerja, penting juga memahami hak-hak dasar dan tidak gegabah menandatangani perjanjian tanpa membaca detailnya. Karena di era profesionalisme, kepercayaan dan transparansi seharusnya lebih utama dari sekadar jaminan fisik.