. Credits: jogjakota.go.id
Long weekend, momen libur panjang, biasanya jadi kabar baik untuk industri perhotelan dan pariwisata. Tapi apakah itu selalu berarti untung besar? D.I. Yogyakarta, salah satu destinasi wisata paling populer di Indonesia, tingkat okupansi hotel memang naik selama libur Waisak 2025. Tapi, pelaku industri belum bisa benar-benar tersenyum puas.
Dilansir dari Kompas.com, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY menyatakan bahwa okupansi hotel saat libur Waisak 2025 meningkat signifikan, di kisaran 70 hingga 90 persen. Namun, Sekretaris PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono, mengungkapkan bahwa peningkatan ini belum mampu menutupi kebutuhan operasional hotel.
Ia mengatakan, "Meski ramai, okupansi belum bisa menutup operasional secara keseluruhan, karena banyak hotel belum menaikkan harga kamar.” Biaya operasional yang terus naik dan kompetisi harga membuat margin keuntungan tetap tipis, bahkan saat permintaan meningkat.
Antara Momentum dan Manajemen Strategis
Dari sudut pandang HR dan pengelolaan bisnis, ini jadi pengingat penting bahwa traffic tinggi belum tentu profit tinggi. Dalam konteks organisasi, ini seperti ketika sebuah tim terlihat sibuk, banyak aktivitas, banyak deadline,tapi nyatanya output strategisnya masih minim. Aktivitas tinggi tidak otomatis berarti efisiensi, apalagi efektivitas.
Di industri hospitality, keseimbangan antara harga, kualitas layanan, dan efisiensi SDM jadi tantangan utama. Bila tenaga kerja tetap digenjot selama momen padat tanpa strategi jangka panjang, hasilnya bisa burnout tanpa pencapaian yang signifikan. Sebaliknya, tim yang disiapkan dengan pendekatan agile dan data-driven bisa lebih responsif terhadap lonjakan permintaan tanpa mengorbankan kesejahteraan karyawan.
Berita ini relevan bukan hanya untuk pelaku bisnis hotel, tapi juga untuk semua yang mengelola tim, anggaran, dan strategi jangka panjang. Dalam dunia kerja yang makin dinamis, penting untuk bisa memetakan kapan kita harus ngebut, kapan perlu rehat, dan bagaimana tetap sustain dalam performa.
Di organisasimu, apakah sudah ada sistem yang bisa membaca momentum sekaligus menjaga kesehatan tim dan keuangan atau justru masih bergantung pada insting dan momen musiman saja?