Credits: pexels/Tom Fisk
Industri perhotelan, sebagai salah satu tulang punggung pariwisata dan pendukung sektor UMKM, kini berada di tengah tekanan berat. Di Jakarta, angin kencang perubahan kebijakan mulai mengguncang bisnis perhotelan, bahkan memunculkan ancaman serius terhadap keberlangsungan kerja ribuan orang yang menggantungkan hidup di sektor ini.
Berdasarkan laporan Katadata (27/5), hasil survei Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta menunjukkan bahwa 96,7% hotel mengalami penurunan tingkat hunian pada kuartal pertama 2025. Penurunan paling signifikan tercatat dari segmen pasar pemerintah yang selama ini menjadi tulang punggung okupansi hotel, akibat kebijakan efisiensi anggaran oleh pemerintahan Prabowo. Di tengah kondisi ini, beban biaya operasional seperti tarif air, gas, dan kenaikan UMP semakin menekan kelangsungan bisnis hotel. Sekitar 70% pengelola hotel menyatakan, jika tren ini berlanjut, akan terjadi pengurangan karyawan antara 10–30%.
Ketua BPD PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, menekankan bahwa rendahnya kontribusi wisatawan mancanegara (rata-rata hanya 1,98% per tahun sejak 2019) memperparah ketergantungan terhadap wisatawan domestik dan pasar pemerintah. Ia menyebut perlunya strategi promosi dan kebijakan pariwisata yang lebih agresif dan menyasar pasar internasional agar industri ini tidak semakin terpuruk.
Sektor akomodasi dan makanan-minuman di Jakarta sendiri menampung lebih dari 603 ribu pekerja per tahun 2023. Menurunnya performa industri ini diyakini akan berdampak langsung pada ekosistem yang lebih luas, mulai dari UMKM, petani, logistik, hingga pelaku seni budaya.
Diversifikasi Strategi Bisnis
Melihat ini dari kacamata HR, kita perlu mengakui bahwa kebijakan efisiensi anggaran pemerintah memang membawa dampak lanjutan yang cukup sistemik, terutama ke industri yang sangat tergantung pada belanja negara. Namun, ketergantungan industri hotel pada pasar pemerintah seharusnya sudah lama menjadi alarm bagi pelaku usaha untuk melakukan diversifikasi strategi bisnis. Ketika pasar utama tertekan, tentu dampaknya akan langsung menghantam tenaga kerja. Langkah-langkah seperti PHK bukan hanya soal efisiensi, tapi juga menunjukkan lemahnya kemampuan adaptasi dan inovasi sektor ini dalam membangun pasar alternatif yang lebih tahan krisis, dan tentunya sekali lagi tidak sepenuhnya bisa disalahkan, tapi ini perlu jadi "PR" bersama.
Di sisi lain, naiknya beban operasional memang bukan sesuatu yang bisa dihindari, tapi apakah struktur biaya sudah dioptimalkan? Atau justru beban operasional selama ini ditopang oleh pasar yang "disubsidi" dari belanja pemerintah? Ini pertanyaan kritis yang perlu dijawab sebelum menyasar solusi jangka pendek seperti pengurangan tenaga kerja.