Credits:AI generated
UMR, gig economy, dan angka kemiskinan menjadi tiga topik yang sering kita dengar tapi jarang benar-benar dibahas lebih dalam keterkaitannya satu sama lain. Belum lama ini, riset dari Celios mengungkap fakta mengejutkan bahwa ternyata mayoritas pekerja di Indonesia ternyata menerima upah di bawah UMR. Tak hanya itu, metode pengukuran kemiskinan yang digunakan pemerintah pun dinilai sudah usang. Lantas, apa dampaknya bagi kita yang berkecimpung di dunia kerja, bisnis, dan kebijakan ketenagakerjaan?
Laporan dari Katadata mengutip hasil riset Center of Economic and Law Studies (Celios) yang menyebutkan bahwa proporsi pekerja yang menerima upah di bawah UMR melonjak tajam, dari 63% pada 2021 menjadi 84% pada 2024. Peneliti Celios, Bara, menambahkan bahwa sektor transportasi, pertambangan, dan akomodasi memiliki tingkat kelebihan jam kerja tertinggi, dengan rata-rata 48 jam per minggu. Kondisi lebih ekstrem ditemukan pada pengemudi ojek online yang rata-rata bekerja 54,5 jam per minggu.
Celios juga mengkritik metode pengukuran kemiskinan yang masih digunakan Badan Pusat Statistik (BPS). Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menyatakan bahwa “pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh BPS masih bertumpu pada dua pilar lama yaitu garis kemiskinan berbasis kecukupan kalori dan indikator kesejahteraan berbasis pengeluaran. Ini pendekatan yang sah di era 70-an.” Ketimpangan pun mencolok: menurut BPS, penduduk miskin di Indonesia hanya 8,57%, sementara versi Bank Dunia mencapai 60%. Media menyebut perbedaan metode ini membuat publik bingung dan meragukan akurasi data pemerintah.
Data yang Tidak Relevan Bisa Berbahaya
Dari sudut pandang HR, dominasi sektor informal dan gig economy (industri yang mengandalkan pekerja lepas) dalam pasar kerja terbukti semakin kuat. Namun sayangnya, lemahnya pengawasan dan penegakan standar minimum ketenagakerjaan masih nyata sehingga terjadi kebingungan antara pelaku industri yang tidak mendapat kejelasan regulasi, dan para pekerja yang merasa tidak terlindungi.
Kritik Celios terhadap metode pengukuran kemiskinan oleh BPS juga sebaiknya diperhatikan, sebab data yang keliru atau tidak relevan bisa melahirkan kebijakan yang tidak tepat sasaran. Jika penghitungan kemiskinan masih berbasis pada standar era 70-an, maka realitas pekerja masa kini yang mana kompleksitas digital, beban kerja, dan biaya hidupnya tak akan terwakili dengan akurat.