Credits:theconversation.com
Pekan ini, Indonesia bersiap menghadapi gelombang aksi dari para pengemudi ojek online dan taksi daring. Isunya bukan sekadar soal tarif atau insentif semata, tetapi menyentuh persoalan regulasi yang tak kunjung ditegakkan dengan benar. Jika kamu berada di Jakarta pada 20 Mei 2025, bersiaplah untuk merasakan dampak dari jalanan yang padat hingga layanan transportasi daring yang mungkin menghilang seharian.
Dikutip dari Kompas.com, aksi ini digagas oleh Garda Indonesia, sebuah asosiasi pengemudi ojol dan taksi online. Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, menyuarakan keresahan pengemudi terhadap perilaku aplikator yang dinilai melanggar Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) KP 1001 Tahun 2022. Aturan itu jelas menetapkan batas sewa aplikasi maksimal 15% ditambah 5% untuk kesejahteraan mitra. Namun, dalam praktiknya, banyak aplikator diduga menetapkan tarif sewa secara sepihak dan memberatkan pengemudi. Aksi ini akan menyasar tiga titik penting di Jakarta: Istana Merdeka, Gedung Kemenhub, dan Gedung DPR/MPR RI. Peserta aksi diperkirakan mencapai ribuan, termasuk dari luar Jawa seperti Palembang dan Lampung. Bahkan, di hari yang sama, akan dilakukan offbid massal, yaitu penghentian sementara layanan ojol dari seluruh aplikator.
Status 'Mitra'
Terlepas dari belum sepenuhnya orang paham akan status 'mitra', kita bisa melihat fenomena ini sebagai cermin krisis relasi antara platform digital dan para pekerja ekosistemnya. Model kemitraan yang longgar tanpa perlindungan sosial memadai, semakin meminggirkan suara para pekerja lapangan. Di satu sisi, aplikator punya kekuatan algoritma dan modal, sementara di sisi lain, para mitra bergantung penuh pada sistem yang seringkali tidak transparan.