Credits:AI generated
Di era digital dan keterbukaan informasi, isu kesejahteraan kerja tak hanya soal gaji atau jam kerja. Isu seperti penahanan ijazah yang selama ini luput dari sorotan luas, akhirnya menjadi perhatian publik setelah Kementerian Ketenagakerjaan mengumumkan langkah tegas terhadap perusahaan yang masih melakukannya. Praktik ini tak cuma keliru secara etika, tapi juga berpotensi masuk dalam ranah pidana.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyebut ribuan perusahaan di Indonesia masih melakukan penahanan ijazah milik karyawan. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan, menyebut jumlah pelaku bisa mencapai puluhan ribu. Pernyataan ini muncul saat peluncuran layanan aduan Buruh Tanya Wamen (BTW), ketika seorang penelepon melaporkan dugaan penahanan ijazah oleh BRI cabang Bukittinggi. Menindaklanjuti laporan itu, Immanuel menghubungi langsung pihak terkait dan menyatakan, “Kalau terbukti menahan ijazah, kami akan segel kantor cabang itu.”
Mengutip pemberitaan dari Katadata.co.id, Immanuel menyatakan bahwa praktik tersebut termasuk dalam kelompok kejahatan perbudakan sebagaimana dimuat dalam Pasal 29 Ayat 2 Konvensi ILO Tahun 1930. Kemnaker akan menjerat pelaku dengan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, yang masing-masing mengatur ancaman pidana penjara hingga 4 dan 9 tahun.
Kemnaker juga akan menerbitkan surat edaran pelarangan penahanan ijazah, dan berencana meningkatkan statusnya menjadi peraturan menteri. Langkah koordinasi dengan Kementerian BUMN juga dilakukan agar BUMN ikut menghentikan praktik ini. Target peniadaan praktik ini adalah Agustus mendatang.
Berharap Loyalitas tapi Justru Membangun Distrust
Sebenarnya, semua orang juga bisa memahami alasan perusahaan menahan ijazah yang sejatinya untuk antisipasi supaya karyawan tidak mudah lepas tanggungjawab ketika terlibat masalah, tapi praktek penahanan ijazah ini masih banyak instansi yang belum sadar bahwa itu bukan hanya bentuk kontrol yang tidak sehat dalam hubungan kerja, tapi juga pelanggaran hukum berat. Lagipula masih banyak cara lain untuk menangani karyawan yang terlibat masalah selain dengan menahan barang berharga milik karyawan.
Terlepas dari pembahasan pelanggaran hukum, mari kita pelajri konsekuensi dalam organisasi itu sendiri. Apa benar 'memaksa' karyawan tetap loyal dengan tahan ijazah akan efektif? Fakta di lapangan, justru banyak karyawan yang rela memilih keluar dan mengorbankan ijazahnya tidak dapat diambil hanya karena mereka sudah putus asa tidak mendapat solusi atas masalah di tempat mereka bekerja. Alhasil, praktik ini hanya akan membangun distrust (rasa ketidakpercayaan) perusahaan terhadap karyawannya sendiri, dan juga sebaliknya.
Dalam relasi kerja modern, pendekatan berbasis kepercayaan dan tanggung jawab profesional jauh lebih produktif ketimbang ancaman simbolik seperti menahan dokumen pribadi.
Alih-alih membangun loyalitas, penahanan ijazah justru menciptakan ketakutan, frustrasi, dan bisa berdampak jangka panjang pada reputasi perusahaan.