Credits:AI generated
Isu kebocoran data atau penyalahgunaan sistem di instansi pemerintahan memang bukan hal baru. Namun kali ini, sorotan publik tertuju pada sebuah dugaan kejahatan yang terstruktur, masif, dan sistematis dalam tubuh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sekarang berganti nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Dugaan ini melibatkan praktik "pengamanan" ribuan situs judi online agar tak diblokir oleh negara, dengan aliran dana yang ditaksir tembus lebih dari Rp 128 miliar.
Mengutip laporan Kompas.com, Jaksa Penuntut Umum membacakan dakwaan terhadap empat terdakwa, salah satunya Adhi Kismanto, pegawai aktif Kominfo. Dalam dakwaan itu, terungkap bahwa mereka diduga menjalankan praktik perlindungan terhadap situs judi online. Muhrijan alias Agus, yang mengklaim sebagai utusan direktur di kementerian tersebut, menjadi sosok sentral yang menghubungkan aktor internal dan eksternal, termasuk Zulkarnaen Apriliantony, eks Komisaris BUMN yang disebut dekat dengan Menteri Kominfo Budie Arie Setiadi.
Praktik ini melibatkan aliran dana besar dari para agen situs judi untuk “mengamankan” ribuan situs dari pemblokiran. Rinciannya: 20.000 lebih situs dikelola dan dijaga selama periode Mei hingga Oktober 2024, dengan sistem distribusi berbasis Google Sheet dan koordinasi lewat grup Telegram “Service AC”. Dalam skema ini, posisi dan kedekatan dengan pejabat kunci digunakan sebagai daya tawar untuk menegosiasikan pembagian keuntungan, termasuk dugaan aliran hingga 50 persen ke nama menteri yang disebut dalam dakwaan.
Rekrutmen Berbasis "Kedekatan" Punya Celah Besar dalam Sistem
Kasus ini menggarisbawahi satu hal penting, yaitu sistem birokrasi bisa disalahgunakan oleh oknum yang mengetahui celahnya. Dari kacamata HR, hal ini menunjukkan betapa lemahnya integritas kelembagaan ketika fungsi kontrol tidak berjalan. Pola perekrutan berbasis “kedekatan” seperti yang terjadi pada Adhi Kismanto, bukan hanya merusak kredibilitas instansi, tapi juga menciptakan sistem yang tidak sehat dan tidak akuntabel.
Skema koordinasi lintas aktor yang tertata rapi ini tidak akan mungkin berjalan tanpa pembiaran dari sistem di atasnya. Ini bukan hanya soal pelanggaran hukum oleh instansi negara, ini juga soal disfungsi etika profesional dalam organisasi publik jika kita bicara implementasi dalam instansi sektor swasta. Tanggung jawab pimpinan tertinggi bukan hanya memastikan kebijakan berjalan, tetapi juga bahwa nilai-nilai dasar seperti kejujuran dan akuntabilitas ditegakkan secara nyata.
Skandal ini jadi pengingat bahwa ancaman terhadap sistem kerja bukan hanya dari luar, tapi seringkali datang dari dalam. Untuk para pemimpin organisasi, alangkah baiknya tidak hanya mengandalkan prosedur, tapi juga membangun budaya integritas. Bagi profesional HR dan pelaku bisnis, ini menjadi pelajaran bahwa sistem seleksi, promosi, dan pengawasan harus berbasis merit, bukan kedekatan.